Senin, 30 April 2012

Hukum Investasi


 Pada tahun 1974 setelah peristiwa ”Malari” (malapetaka lima belas januari) sikap Indonesia terhadap investasi asing cukup hati-hati bahkan terkesan membatasi. Pada masa ini ada yang menyebut munculnya sikap-sikap ultra nasionalis yang kuat bahkan cenderung berlebihan dan pada masa ini pula dikenal sebagai masa ”indonesianisasi” modal asing. Sebagaimana dinyatakan oleh Radius Prawiro :
” Deregulasi perekonomian telah berakar di sektor keuangan, dan paket 6 Mei 1986 berfokus pada sektor perdagangan dan penanaman modal yang telah menimbulkan ekonomi biaya tinggi di Indonesia. Peraturan-peraturan yang memaksakan indonesianisasi, pembatasan-pembatasan yang ketat atas sektor-sektor yang terbuka untuk penanaman modal bahkan pembatasan hak menambah penanaman modal yang sudah ada semuanya berdampak mengurangi daya tarik Indonesia sebagai tempat penanaman modal.”[1]

Sikap tertutup dan kurang acuh terhadap investasi asing tersebut berkelanjutan sampai tahun 1985, karena pada waktu itu indonesia masih diuntungkan dapat menikmati hasil ”bom minyak”, karena kebutuhan APBN cukup disupport dari sektor perminyakan (migas). Sikap dan kondisi ekonomi yang demikian menyebabkan Indonesia tidak banyak melakukan langkah-langkah yang berarti, kurang ada usaha untuk  mendorong perkembangan investasi, kebijakan-kebijakan hukum dalam bidang investasi kurang dikembangkan bahkan terkesan tambal sulam dan parsial.

Pada tahun 1986 sampai dengan 1990an mulai ada perubahan orientasi dalam kebijakan investasi yang lebih terbuka dan mulai dilakukan upaya deregulasi dalam berbagai struktur kebijakan ekonomi termasuk dalam bidang investasi, pada masa ini upaya-upaya yang mengarah ke liberalisasi ekonomi perdagangan dan investasi semakin mengedepan dan sikap pemerintah terhadap investasi asing semakin terbuka, pada masa ini dapat dikatakan sebagai masa awal berkembangnya ”paradigma liberal” yang mendorong perkembangan perekonomian Indonesai terintegrasi dengan perekonomian internasional. Hal ini kemudian mendorong Indonesia untuk segera meratifikasi ketentuan-ketentuan dalam World Trade Organization (WTO), khususnya tentang Trade Related Investment Measures (TRIMs)[2] yang mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi. Pada masa ini ekonomi Indonesia ada yang menyebut telah mengembangkan ”sistem ekonomi pasar terkendali” sebagaimana yang pernah direkomendasikan oleh ISEI.[3] Kondisi ini tidak berlangsung lama, menjelang kejatuhan rejim Soeharto tahun 1997 bersamaan dengan adanya tuntutan reformasi suara-suara untuk mengubah orientasi ekonomi yang cenderung mengarah ke liberalistik dituntut kembali untuk berorientasi ”kerakyatan” yaitu selaras dengan tuntutan masyarakat agar pemerintah mengembangkan kebijakan ekonomi yang disebut dengan ”demokrasi ekonomi kerakyatan”.

Tuntutan masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945 telah dilaksanakan, dan UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen. UUD 1945 kembali menjadi acuan landasan utama kebijakan nasional dalam bidang ekonomi, termasuk kebijakan hukum investasi. Ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang telah mengalami penambahan, pada masa ini mulai ditafsirkan kembali, dengan penegasan bahwa demokrasi ekonomi dalam UUD 1945 adalah berbeda dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sistem etatisme. Sampai saat ini perbincangan tentang pemahaman / penafsiran atas Pasal 33 tersebut belum sepenuhnya tuntas. Konsekuensi adanya pemaknaan atau penafsiran yang belum sepenuhnya utuh tersebut, tidak jarang hal ini dijadikan dasar bagi beberapa kebijakan ekonomi dan investasi sesuai dengan pemaknaan / penafsiran pada masanya oleh rejim yang berkuasa.

Menyadari betapa mudahnya perubahan sikap Indonesia dalam mengembangkan kebijakan hukum investasi, maka sudah sepatutnya dimulai suatu langkah yang sungguh-sungguh dalam melakukan pengkajian kebijakan hukum investasi di Indonesia. Untuk menyiapkan hal tersebut perlu suatu riset dan kajian untuk pengembangan ilmu hukum investasi.

Dalam perumusan suatu kebijakan hukum investasi beberapa aspek dasar yang harus dicermati adalah :
  1. sistem ekonomi yang dianut sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UUD atau konstitusi,
  2. prinsip atau asas, dan hukum internasional yang berkaitan dengan investasi yang disepakati dalam berbagai konvensi serta perjanjian internasional,
  3. dasar teori yang dipilih sebagai landasan konsep kebijakan yang bersumber pada teori-teori hukum investasi yaitu teori-teori ekonomi pembangunan dan teori-teori hukum investasi tentang perusahaan transnasional yang berkaitan dengan investasi.
Ketiga aspek dasar yang menjadi landasan pijakan untuk menentukan model kebijakan yang akan ditetapkan, merupakan suatu yang niscaya harus dilakukan agar kebijakan hukum investasi yang akan ditetapkan benar-benar memiliki dasar argumentasi teoritik dan hukum yang kokoh dan tidak menyimpang dari semangat konstitusi.

Kesadaran tentang pentingnya pengkajian terhadap kebijakan hukum investasi yang harus melibatkan berbagai aspek disiplin ilmu non hukum, maka sudah sepatutnya dalam merancang kebijakan hukum investasi melibatkan para pakar dari disiplin ilmu ekonomi dan politik. Pengembangan ilmu hukum investasi memerlukan dukungan para ahli non hukum khususnya ahli ekonomi dan politik. Pembelajaran hukum investasi pada mahasiswa harus mengenalkan arti pentingnya pemahaman terhadap sistem dan konsep-konsep ekonomi dan politik bagi pemahaman suatu kebijakan hukum investasi yang komprehensif. Dalam rangka kerjasama yang lebih intens antara para ahli hukum dan para ahli ekonomi dan politik dalam menganalis kebijakan hukum investasi perlu ada penelitian dan pengkajian bersama.

Mengintegrasikan teori hukum dengan teori ekonomi dan politik sebagai dasar pijakan pengembangan teori hukum tentang kebijakan hukum investasi memerlukan penelitian dan pengkajian yang mendalam, prinsip-prinsip ekonomi yang berkaitan dengan masalah rasionalitas dan efisiensi perlu menjadi acuan. Pendekatan dari aspek ekonomi terhadap hukum sebagaimana yang dirintis oleh  Posner[4] masih cukup relevan untuk dikembangkan lagi agar produk-produk hukum yang ditetapkan oleh negara mempertimbangkan dimensi ekonomi secara mendalam. Penggunaan pendekatan tersebut akan dapat mencegah tumbuhnya efek atau akibat dari suatu produk hukum yang dapat menimbulkan irrationalitas, inefisiensi dan birokratis yang dapat menimbulkan ekonomi berbiaya tinggi.

Dalam era kompetisi yang terbuka, pertimbangan memilih negara tujuan investasi bukan lagi hanya didasarkan pada aspek comparative advantage tetapi pada aspek competitive  advantage. Implementasi kebijakan hukum investasi nasional saat ini masih terkendala oleh perilaku layanan publik (public services) yang belum mampu mewujudkan good governance. Implementasi kebijakan hukum investasi masih dihadapkan pada hambatan aturan-aturan lokal (berbagai Peraturan Daerah) yang belum sepenuhnya selaras dengan kebijakan hukum investasi nasional. Selain itu masih adanya korupsi yang hampir menyeluruh di seluruh wilayah Indonesia dan institusi negara, menyebabkan para calon investor kurang tertarik berinvestasi ke Indonesia.

Sementara negara-negara berkembang yang menjadi kompetitor Indonesia dalam menarik modal asing telah mampu berbenah baik dalam aspek hukum, birokrasi dan kecepatan layanan perijinan serta insentif yang cukup atraktif. Kemajuan yang diraih oleh negara-negara kompetitor dengan berusaha mengembangkan paradigma pengaturan hukum investasi yang liberal semakin pesat perkembangannya. Karena itu tantangan  yang dihadapi oleh Indonesia masih cukup berat.

Tantangan atas perkembangan kebijakan hukum investasi secara universal adalah kebijakan hukum investasi nasional harus mampu menjaga dan melindungi kepentingan nasional (domestik) dalam era kompetitif yang terbuka antar negara berkembang dalam perebutan investasi asing. Dalam era kompetisi yang terbuka, suatu pengecualian atas berbagai prinsip dan hukum internasional dimungkinkan kalau suatu host country mampu memberikan argumentasi yang rasional dan kuat mengapa suatu negara diberikan perkecualian terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku secara universal.

Harapan ke depan yang masih dapat dilakukan adalah :
1.       upaya yang sungguh-sungguh untuk menyempurnakan hukum investasi dengan menyempurnakan berbagai aturan yang terkait dan aturan-aturan pelaksananya, khususnya dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang telah berupaya mengadopsi berbagai prinsip internasional dalam bidang hukum investasi,
2.       beberapa perkecualian penerapan atas prinsip World Trade Organization (WTO)  dalam bidang investasi dimungkinkan bagi Indonesia asalkan Indonesia sungguh-sungguh berusaha memberikan argumentasi yang rasional dan kuat sesuai dengan kepentingan nasional,
3.       Indonesia masih mempunyai peluang cukup menjadi pertimbangan sebagai negara tujuan investasi dari segi pertimbangan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta letak strategis wilayah Indonesia sebagai lokasi investasi dan luasnya pasar produk.

Paradigma baru kebijakan hukum investasi secara internasional adalah bersifat liberal terbuka dan adil. Keterbukaan ini didasarkan pada prinsip yang disepakati dalam World Trade Organization (WTO)  yang menetapkan adanya keleluasaan/kebebasan yang dinamis antar negara untuk melakukan investasi. Masing-masing negara saling menghormati kedaulatan negara masing-masing untuk menetapkan kebijakan hukum investasinya, namun masing-masing negara harus saling melindungi dan memperlakukan kegiatan investasi di negaranya tanpa ada diskriminasi antara investor asing dengan investor domestik, demikian juga antar sesama investor asing. Prinsip ini menekankan pada dasar pikiran prinsip perlindungan keseimbangan kepentingan antar masing-masing pihak dengan saling menghormati dan memberikan perlakuan tanpa diskriminasi.[5]

Apabila dilihat dari paradigma baru yang liberal dan terbuka, kebijakan hukum investasi di Indonesia saat ini berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal secara substansial telah memenuhi, karena beberapa prinsip hukum internasional telah diakomodasi dan prinsip perlindungan kepentingan internasional juga telah terakomodasi. Namun yang perlu dijaga adalah konsistensi daripada aturan pelaksanaan undang-undang tersebut yang dalam sejarah pengaturan investasi di Indonesia seringkali menyimpang. Selain itu, undang-undang penanaman modal tersebut sejak awal pembahasan sampai ditetapkan sebagai undang-undang masih memperoleh respon yang negatif, karena dianggap terlalu pro pasar dan pro investor (asing).

Akar perdebatannya justru berawal pada masalah yang substansial yaitu ketentuan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. Bagi yang keberatan atas arah kebijakan investasi  dalam undang-undang ini menganggap undang-undang ini berideologi ”liberal” atau ”neo liberal”. Walaupun perdebatan saat ini tidak terlalu sengit, namun dapat dikategorikan ada dua pandangan yang secara relatif mewakili pandangan moderat atas dua pandangan yang berbeda tersebut.

Satu sisi misalnya pandangan yang dikemukakan oleh para ekonom dari ISEI yang menyebutkan bahwa Indonesia menganut ”sistem ekonomi pasar yang terkendali”, yang berarti masih dalam ”faham liberalistik yang moderat”, pada sisi lain diwakili oleh sebagian para ahli yang menyebutkan bahwa sistem ekonomi yang dianut oleh konstitusi Indonesia adalah bersumber pada ”faham kenegaraan welfare state” (negara kesejahteraan) yang dalam sejarahnya merupakan reaksi untuk penyempurnaan faham liberalistik yang kolot. Sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa :
”Undang-undang Dasar 1945 menganut paham kedaulatan rakyat Indonesia yang mencakup baik aspek demokrasi politik maupun aspek demokrasi ekonomi. Berdasarkan kedua doktrin demokrasi tersebut sistem sosial di Indonesia dapat dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi yang seimbang, sehingga menumbuhkan kultur demokrasi sosial yang kokoh. Dalam paham demokrasi sosial (social democracy) negara berfungsi sebagai alat kesejahteraan (welfare state). Meskipun gelombang liberalisme dam kapitalisme terus berkembang dan mempengaruhi seluruh kehidupan manusia, namun juga terjadi penyesuaian dengan elemen-elemen konstruktif dari sosialisme dalam bentuk paham ”market socialism”. Dianutnya prinsip demokrasi ekonomi dan paham ekonomi pasar sosial dapat kita lihat pada ketentua Bab XIV UUD 1945. Ketentuan konstitusi tersebut harus mendasari perumusan berbagai ketentuan mengenai perekonomian dan kesejahteraan sosial di Indonesia. Pelaksanaan ketentuan konstitusi di bidang ekonomi tentu akan selalu bersentuhan dengan kecenderungan perkembangan masyarakat. Saat ini, pelaksanaan welfare state yang memberikan pembenaran konseptual terhadap kecenderungan intervensi pasar negara hendaknya dibatasi demi perkembangan dunia usaha yang sehat.”[6]

Sebenarnya secara substansial menurut hemat saya perbedaan pandangan tersebut tidaklah terlalu diametral, kedua-duanya sebenarnya memahami bahwa dalam konteks internasional liberalisasi telah berjalan jauh dan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan, namun keduanya merasa perlu untuk menegaskan pemberian perlindungan bagi kepentingan nasional. Dalam upaya pentingnya perlindungan kepentingan nasional, kedua pandangan tersebut menghendaki peran pemerintah untuk menjadi pengatur dan pengendali. Walaupun peran pemerintah dalam sektor ekonomi masih dikehendaki namun tetap diingatkan bahwa pemerintah jangan sampai terlalu over regulated  sebagaimana pernah dialami oleh negara-negara yang menganut faham welfare state yang berlebihan di masa lalu. Karena itu langkah-langkah kebijakan hukum investasi perlu penyesuaian-penyesuaian dengan kepentingan ekonomi baik nasional ataupun internasional.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, perubahan paradigma kebijakan hukum investasi telah berlangsung di Indonesia. Paradigma liberal yang telah berpengaruh pada negara berkembang juga telah mempengaruhi Indonesia. Namun demikian faham ini telah diadaptasi dan ditapis (screening) sesuai dengan semangat yang dianut oleh sistem ekonomi Indonesia berdasarkan ketentuan konstitusi yaitu Pasal 33 UUD 1945. Walaupun demikian secara teoritik masih terus berlangsung diskursus-diskursus yang dinamis terhadap pemahaman / pemaknaan atas ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tersebut. Salah satu kata kunci yang membatasi dan cenderung menjadi acuan adalah walaupun kebijakan hukum investasi tersebut telah mengarah ke paradigma liberal, namun peran negara diharapkan masih dalam posisi yang strategis untuk mengatasi ekses-ekses negatif yang timbul dari prinsip pasar bebas tersebut. Selain itu juga diingatkan bahwa peran negara yang merefleksikan tanggung jawabnya terhadap kesejahteraan rakyat tidak dijadikan dasar dan alasan untuk memperkuat posisi negara dalam pengaturan ekonomi dan investasi sehingga cenderung melakukan langkah-langkah regulasi yang berlebihan atau over regulated. Untuk itu pada saat ini diperlukan adanya penelitian dan kajian yang lebih komprehensif tentang pemahaman Pasal 33 UUD 1945 dan pendalaman tentang teori, asas, atau prinsip hukum dan hukum yang menjadi dasar rujukan pengaturan investasi, terutama melalui penelitian dan kajian yang bersifat interdisipliner.

Hal ini diharapkan agar dalam perumusan berbagai kebijakan hukum investasi telah benar-benar memperoleh dasar pemikiran teoritik dan landasan hukum yang kuat baik dalam konteks nasional ataupun internasional sehingga paradigma kebijakan hukum yang dikembangkan betul-betul telah memperoleh pertimbangan dari berbagai segi sehingga tidak hanya merupakan suatu reaksi temporal yang kurang bersifat strategis.

Untuk itu para ahli hukum, ekonomi dan politik di lingkungan Universitas Airlangga sudah sepatutnya bersungguh-sungguh untuk bersinergi  menjalin kerjasama dalam upaya pengembangan kebijakan investasi yang bermanfaat pula bagi pengembangan ilmu hukum, ekonomi dan politik yang dinamis, seiring dengan perkembangan ilmu dan perkembangan internasional dalam bidang hukum, ekonomi dan politik.

JURNAL ASPEK & HUKUM DALAM EKONOMI
KEPASTIAN HUKUM DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEGIATAN INVESTASI DI INDONESIA

Abstract
Melalui UU No. 25 Tahun 2007 Indonesia telah menyatakan tekadnya untuk mewujudkan sebuah sistem hukum investasi yang berkepastian hukum. UU ini menempatkan asas kepastian hukum sebagai asas utama penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia. Dengan keluarnya UU ini, tidak dengan sendirinya seluruh problema investasi di Indonesia menjadi terselesaikan. UU ini hanya sebuah sub-sistem dari kompleksnya pengaturan investasi di Indonesia. Oleh karena itu UU ini harus didukung oleh kepastian dalam peraturan perundang-undangan lain yang terkait langsung dengan aktifitas investasi, termasuk berbagai peraturan tentang transaksi bisnis internasional. Berbagai perkara mengenai transaksi bisnis internasional yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa lemahnya substansi hukum dan penerapan hukum terkait transaksi bisnis internasional masih menjadi kendala bagi perbaikan iklim investasi di Indonesia. Oleh karena itu, selain pembangunan hukum dalam pengertian substansi hukum terkait investasi, harmonisasi hukum, juga diperlukan penguatan kapasitas pemahaman aparat penegak hukum, para lawyer dan para pelaku usaha tentang aspek hukum transaksi bisnis terutama yang berdimensi internasional.



Kesimpulan
Kepastian hukum dalam transaksi bisnis internasional sangat mempengaruhi iklim investasi di suatu negara, baik investasi langsung maupun portofolio, baik yang dilakukan dengan modal asing maupun modal dalam negeri. Ketidakpastian dalam pengaturan dan penegakan hukum dalam transaksi bisnis internasional memicu ketidaknyamanan berinvestasi dan ketidakpercayaan terhadap iklim investasi di negara tersebut. Dalam konteks Indonesia, ketidakpastian transaksi bisnis internasional ini masih menjadi bagian dari kendala
investasi. Ketidakpastian ini tidak saja karena ketidakpastian substansi hukum (peraturan perundang-undangan), terutama karena adanya unclearity of status and definition dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena ketidakpastian penerapan peraturan dalam putusan-putusan pengadilan.
Citra hukum yang tidak pasti tidak saja disebabkan oleh kelemahan substansi hukum, tetapi juga karena kelemahan sumber daya manusia dari penegak hukum dan kultur pelaku transaksi yang lebih mengutamakan pertimbangan kepentingan daripada itikad baik dalam melaksanakan kesepakatan transaksi.
UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah langkah awal dalam pembaharuan hukum investasi (langsung) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan aktifitas transaksi. UU ini dengan tegas mencantumkan asas kepastian hukum sebagai fundamental yang utama penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia. UU bukanlah jawaban akhir dari seluruh problematika investasi di Indonesia tetapi merupakan instrument hukum yang berupaya memberikan bentuk dan arah pembangunan hukum investasi di Indonesia. Oleh karena itu UU ini harus didukung oleh pembaharuan dan pembangunan hukum investasi secara menyeluruh, sistematik dan terintegral. Banyak pekerjaan yang harus segera dilakukan pasca keluarnya UU ini. Dengan demikian, sangat diharapkan Indonesia menjadi tempat yang kondusif bagi investasi, sehingga optimalisasi peran investasi dapat dimanfaatkan dalam pembangunan ekonomi nasional dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional Indonesia sebagai negara berdaulat.

sumber : Adolf, Huala, “Penyelesaian Sengketa di Bidang Ekonomi dan Keuangan” dalam http://www.lfip.org/English.pdf.
Atiyah, P.S, 1981, An Introduction to the Law of Contract, Clarendon Press, Oxford.
Cawley, Mc. 1981, The Growth of the Industrial Sector dalam A. Booth dan P. Mc. Cawley (ed.), The Indonesian Economy During the Suharto Era, University Press, Oxford.
http://www.hukumonline.com, “10 Perkara Litigasi Komersial Paling Menghebohkan 2004”.
http://renytriutami.blogspot.com/2011/05/jurnal-aspek-hukum-dalam-ekonomi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar