Senin, 02 Januari 2012

Pembangunan Ekonomi Daerah



Pendahuluan
       Pembangunan ekonomi sejak Pelita I hingga krisis 1997 memang telah member hasil-hasil positif bagi perekonomian Indonesia,terutama jika dilihat dari sisi kinerja ekonomi makronya.tingkat PN rill rata-rata per kapita mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari hanya rata-rata US$ 50 pertengahan 1960-an menjadi lebih dari US$ 1000 pertengahan 1990-an, dan bahkan Indonesia sempat disebut sebagai calon Negara industri di Asia Tenggara, satu tingkat dibawah NICs.namun dilihat dari sisi kualitas nya, ternyata proses pembangunan ekonomi selama Orde Baru telah menciptakan suatu kesenjangan yang besar,baik dalam bentuk ketimpangan dalam distribusi pendapatan antar kelempok pendapatan maupun kesenjangan ekonomi/pendapatan daerah/provinsi. Pembangunan ekonomi yang tidak merata antar provinsi membuat sebagian masyarakat di banyak daerah di luar pulau jawa seperti aceh, irian jaya(papua), dan riau ingin melepaskan diri dari Indonesia. Bahkan dapat dikatakan bahwa menangnya kelompok prokemerdekaan di Timor Timur tidak lepas dari kekecewaan dari sebagian besar masyarakatnya melihat kenyataan bahwa bergabungnya mereka dengan Indonesia selama Orde Baru tidak menghasilkan pembangunan ekonomi yang berarti di wilayah mereka.
        Ada sejumlah indikator yang dapat digunakan untuk mengananlisis derajat kesenjangan dalam pembangunan ekonomi antarprovinsi, diantara nya adalah produk domestik regional bruto(PDRB) perprovinsi atau distribusi provinsi dalam pembentukan PDB nasional, PDRB atau pengeluaran konsumsi rumah tangga rata-rata perkapita, indeks pembangunan manusia(IPM), kontribusi sektoral terhadap pembentukan PDRB, dan tingkat kemiskinan.
Pembahasan
a.  DISTRIBUSI PDB NASIONAL MENURUT PROVINSI
Distribusi PDB nasional menurut wilayah atau provinsi merupakan indicator utama di antara indikator-indikator lain yang umum digunakan untuk mengukur darajat penyabaran dari hasil pembangunan ekonomi di suatu Negara.PDRB yang relatif sama antarprovinsi memeberi suatu indikasi bahwa distribusi PDB nasional relatif merata antar provinsi, yang berarti kesenjangan ekonomi antar provinsi relatif kecil.atau dapat dikatakan bahwa semakin besar perbedaan dalam pangsa PDB nasional antarprovinsi, semakin besar ketimpangan dalam pembangunan ekonomi antar provinsi.
Setelah diketahui dari data ternyata bahwa DKI Jakarta yang sama sekali tidak punya SDA memiliki saham PDB nasional jauh lebih besar daripada DI Aceh, Riau, dan Kalimantan timur.satu hal yang pasti sebagai penyebabnya adalah bahwa perekonomian DKI Jakarta jauh lebih produktif dibandingkan perekonomian dari tiga provinsi yang kaya SDA tersebut, karena DKI Jakarta memiliki SDM dan infrastruktur yang jauh lebih banyak dengan kualitas yang jauhlebih baik dibandingkan yang ada ditiga provinsi tersebut.
b.   PDRB RATA-RATA PERKAPITA DAN TREN PERTUMBUHAN NYA
Karena tujuan utama dari pembangunan ekonomi adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan ini umum diukur dengan pendapatan rata-rata perkapita, maka distribusi PDB nasional menurut provinsi menjadi indikator yang tidak berarti dalam mengukur ketimpangan dalam pembangunan ekonomi regional jika tidak dikombinasikan dengan tingkat PDRB rata-rata per-kapita.
Tadjoeddin dkk.(2001) menganalisis ketimpangan regional pada tingkat lebih disagregat dengan memakai data kabupaten/kota tahun 1996. Mereka menemukan bahwa dari jumlah kabupaten/kota yang ada pada tahun itu, ada sejumlah kabupaten/kota yang memiliki PDRB per-kapita yang sangat tinggi yang menjadikan daerah-daerah itu sebagai daerah-daerah kantong(enclave), yang antara lain disebabkan oleh keberadaan migas, atau SDA lainnya. Menurut mereka, dilihat dari sebaran PDRB per-kapita, daerah-daerah kantong ini bisa ditempatkan sebagai data pencicilan (out layers)
Untuk menganalisis keberadaan dan peran dari out layers dalam bentuk pola ketimpangan regional, dilakukan dua langkah pemisahan data. Seperti yang dijelaskan di Tadjoeddin dkk.(2001) sebagai berikut.pertama, nilai minyak dan gas bumi di keluarkan dari PDRB semua kabupaten/kota, dan output pertambangan dikeluarkan dari PDRB kabupaten Fakfak. Setelah itu, angka PDRB per kapita menurut kabupaten kota tersebut diurutkan dari yang terkecil sampai yang terbesar. Ternyata, 13 kabupaten/kota teratas memiliki nilai PDRB per kapita yang sangat tinggi. Daerah-daerah ini adalah daerah yang memiliki kekhususan dalam hal karekteristik ekonominya yang bisa digolongkan menjadi daerah kantong industri, perdagangan dan jasa. Oleh karena nya, pada langkah kedua ke 13 kabupaten/kota tersebut dikeluarkan dari analisis.
Kesimpulan
Strategi pembangunan ekonomi di masa lalu telah mengubah struktur ekonomi secara mengesankan dan mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Namun, perubahan struktur ekonomi ini hanya terjadi pada level nasional, sedangkan pada level daerah secara agregat relatif stagnan, terutama daerah-daerah di laur pulau Jawa. Ini berarti bahwa peranan dan partisipasi daerah dalam pembangunan ekonomi nasional belum optimal.
Untuk meningkatkan peranan dan partisipasi daerah dalam pembangunan ekonomi nasional, tidak ada cara lain selain daripada membangun perekonomian daerah dengan menerapkan Strategi Agroindustri Berorientasi Ekspor di seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah pusat perlu memberikan dukungan secara serius dengan menerapkan Strategi Promosi Ekspor Berbasis Agribisnis. Hal ini menuntut adanya penataan ulang kelembagaan yang ada saat ini, yang salah satu diantaranya adalah reorganisasi Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, dan Departemen Kelautan dan Perikanan menjadi Departemen Agribisnis Pertanian, Departemen Agribisnis Kehutanan, dan Departemen Agribisnis Kelautan dan Perikanan. Jika Strategi Promosi Ekspor Berbasis Agribisnis berjalan dengan baik, maka seluruh daerah akan memberikan konstribusi secara optimal terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, mengurangi kesenjangan ekonomi antar daerah, mengurangi pengangguran, serta mengurangi tingkat kemiskinan.
Uraian ini menunjukkan betapa pentingnya pengembangan kebijakan serta pembangunan kelembagaan dan kemampuan dalam dan bagi proses pemulihan ekonomi dan untuk menjamin pembangunan ekonomi berkelanjutan. Persoalan ini telah menjadi semakin sulit dan rumit karena proses pemulihan kita ini dilaksanakan dalam suatu era globalisasi yang tidak hanya menyempitkan ruang tetapi juga menyusutkan waktu. Pembangunan kelembagaan dan kemampuan membutuhkan waktu, tetapi kita dituntut untuk meng-akselerasi proses ini agar bisa berpartisipasi dengan sukses dalam ekonomi global. Sementara itu pengembangan kebijakan ekonomi, politik dan sosial yang tepat untuk menghadapi globalisasi juga semakin dipersulit oleh merebahnya gelombang "anti-globalisasi" yang penuh retorika salah kaprah dan kerancuan yang bisa menyesatkan.
Dalam konteks inilah kita dihadapkan pada persoalan membangun ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien. Marilah kita pelajari lebih dahulu bagaimana kita menilai daya saing suatu ekonomi. Daya saing suatu ekonomi tidak dapat dinyatakan oleh ukuran-ukuran parsimonial seperti Revealed Comparative Advantage (RCA) yang berlaku untuk suatu komoditi tertentu dan bersifat ex post. Suatu konsep yang lebih luas perlu dikembangkan, walau pun Paul Krugman bersikeras bahwa konsep competitiveness bukanlah suatu konsep untuk diterapkan pada suatu ekonomi (negara) tetapi lebih tepat bagi perusahaan-perusahaan dalam ekonomi (negara) bersangkutan.
Setiap tahun lembaga seperti World Economic Forum (WEF) dan International Institute for Management Development (IIMD) menerbitkan daftar peringkat daya saing internasional sejumlah negara. Indeks daya saing itu ditetapkan berdasarkan pernilaian atas delapan kelompok karakteristik struktural ekonomi bersangkutan. Kedelapan karakteristik itu adalah: (1) keterbukaan terhadap perdagangan dan keuangan internasional; (2) peran fiskal dan regulasi pemerintah; (3) pembangunan pasar finansial; (4) kualitas infrastruktur; (5) kualitas teknologi; (6) kualitas manajemen bisnis; (7) fleksibilitas pasar tenaga kerja dan pembangunan sumber daya manusia; dan (8) kualitas kelembagaan hukum dan politik. Menurut ukuran ini daya saing ekonomi sebenarnya ditentukan oleh ketiga faktor tadi: kebijakan, kelembagaan dan kemampuan. Pengembangan ketiga faktor ini merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi daerah yang kompetitf. Pada akhirnya kekuatan kelembagaan dan kemampuan nasional seharusnya bukanlah yang dicerminkan dengan yang terdapat di Jakarta tetapi dengan yang ada di seluruh Indonesia. Daya saing ekonomi daerah tidak dapat dilihat dalam konteks nasional, yaitu antar ekonomi daerah, tetapi harus dikembangkan dalam konteks internasional. Karena itu tidak dapat dihindari bahwa pembangunan ekonomi daerah harus diselenggarakan dengan pola yang secara tegas berorientasi ke luar.
Dalam tahun-tahun mendatang ini agenda pembangunan ekonomi daerah akan didominasi oleh program desentralisasi dan pengembangan otonomi daerah. Tujuan program ini jauh lebih luas dari pembangunan ekonomi daerah, yaitu untuk meningkatkan rasa keadilan, mengembangkan partisipasi rakyat dan suatu sistim sosial-politik yang demokratis, serta untuk menjaga dan memperkokoh kesatuan bangsa. Pola desentralisasi dan otonomi daerah yang dapat memenuhi semua tujuan itu tidak mudah untuk dirancang. Tujuan-tujuan di atas ingin ditampung dalam UU No 22/1999 dan UU No 25/1999. Dalam berbagai masih terdapat berbagai kerancuan dalam pelaksanaan program ini. Salah satu kerancuan terlihat dari meningkatnya keraguan untuk memberikan otonomi pada daerah Tingkat II.
Pengalihan kewenangan ke Tingkat II menjanjikan pengembangan partisipasi rakyat dalam pembangunan dan pembangunan sistim yang semakin demokratis. Tetapi otonomi di Tingkat II untuk beberapa tahun mendatang, mungkin sampai 10 tahun, belum tentu menjamin terselenggaranya pembangunan ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien karena pengembangan kebijakan dan pembangunan kelembagaan dan kemampuan di banyak daerah Tingkat II akan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Lemahnya pengembangan kebijakan serta kelembagaan dan kemampuan di daerah sangat tampak dari minimimnya prakarsa di daerah dan usulan-usulan yang datang dari daerah untuk melaksanakan program desentralisasi dan otonomi daerah. Di waktu lalu pembangunan daerah digagaskan dan dilaksanakan terutama oleh pusat. Kini terdapat bahaya bahwa proses desentralisasi juga akan diselenggarakan secara tersentralisasi.
Peranan pusat mungkin akan tetap besar dalam bidang fiskal. Arsitektur fiskal pola lama sangat timpang secara vertikal walaupun cukup seimbang secara horizontal. Dorongan untuk merombak arsitektur ini sangat masuk akal tetapi bila tidak dirancang dengan baik bisa menghasilkan artistektur fiskal yang kurang timpang secara vertikal tetapi penuh dengan ketimpangan secara horizontal. Suatu keseimbangan vertikal dan horizontal merupakan prasyarat bagi terjaganya kesatuan bangsa. Dalam rancangbangun baru peranan pusat untuk menjaga keseimbangan horizontal itu dilakukan melalui Dana Alokasi Umum (DAU) yang mungkin akan tetap besar selama 10 tahun mendatang.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya merupakan salah satu pencerminan kemampuan daerah, tetapi keragaman yang besar dalam kemampuan itu sudah menunjukkan bahwa selain masalah sequencing dalam desentralisasi dan pemberian otonomi juga perlu dirancang pelaksanaan bertahap sesuai kemampuan masing-masing daerah.
Data-data untuk tahun 1996 menunjukkan bahwa secara rata-rata PAD untuk 53 kotamadya mencapai sekitar 22,4% dari total penerimaan sedangkan PAD untuk 232 kabupaten mencapai 10,3%. Suatu pemetaan berdasarkan PDRB per kepala dan PAD sebagai persen dari total penerimaan menunjukkan bahwa dari jumlah kabupaten tersebut hanya 17 kabupaten (4 di luar Jawa dan Bali) mempunyai PAD dan PDRB per kepala di atas rata, sedangkan 103 kabupaten mempunyai PAD dan PDRB per kepala di bawah rata-rata. Untuk ke 53 kotamadya, hanya 8 kotamadya (semua di Jawa dan Bali) yang mempunyai PAD dan PDRB per kepala di atas rata-rata, sedangkan sebanyak 26 atau sekitar 50 persen, berada di bawah rata-rata.
Program desentralisasi dan otonomi daerah merupakan pekerjaan besar dan harus berhasil dengan baik. Melihat keragaman kemampuan maka pelaksanaannya harus didasarkan pada sequencing yang jelas dan penerapan bertahap menurut kemampuan daerah. Dalam proses pemulihan ekonomi nasional, pelaksanaan program desentralisasi yang tergesa-gesa tanpa kesiapan memadai akan mengganggu pemulihan ekonomi yang pada gilirannya akan merugikan pembangunan ekonomi daerah sendiri. Maka sangat mungkin diperlukan suatu kesepakatan baru. Proses desentralisasi tidak perlu diakselerasi. Yang perlu diakselerasi adalah pengembangan kelembagaan dan kemampuan, termasuk untuk pengembangan kebijakan, pada tingkat daerah -- khususnya daerah Tingkat II. Ini merupakan kerja nasional yang harus mendapat prioritas pertama dan dilaksanakan terutama di daerah. Inilah inti dari pemberdayaan ekonomi daerah yang merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien.


Daftar pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar