Senin, 30 April 2012

Hukum Investasi


 Pada tahun 1974 setelah peristiwa ”Malari” (malapetaka lima belas januari) sikap Indonesia terhadap investasi asing cukup hati-hati bahkan terkesan membatasi. Pada masa ini ada yang menyebut munculnya sikap-sikap ultra nasionalis yang kuat bahkan cenderung berlebihan dan pada masa ini pula dikenal sebagai masa ”indonesianisasi” modal asing. Sebagaimana dinyatakan oleh Radius Prawiro :
” Deregulasi perekonomian telah berakar di sektor keuangan, dan paket 6 Mei 1986 berfokus pada sektor perdagangan dan penanaman modal yang telah menimbulkan ekonomi biaya tinggi di Indonesia. Peraturan-peraturan yang memaksakan indonesianisasi, pembatasan-pembatasan yang ketat atas sektor-sektor yang terbuka untuk penanaman modal bahkan pembatasan hak menambah penanaman modal yang sudah ada semuanya berdampak mengurangi daya tarik Indonesia sebagai tempat penanaman modal.”[1]

Sikap tertutup dan kurang acuh terhadap investasi asing tersebut berkelanjutan sampai tahun 1985, karena pada waktu itu indonesia masih diuntungkan dapat menikmati hasil ”bom minyak”, karena kebutuhan APBN cukup disupport dari sektor perminyakan (migas). Sikap dan kondisi ekonomi yang demikian menyebabkan Indonesia tidak banyak melakukan langkah-langkah yang berarti, kurang ada usaha untuk  mendorong perkembangan investasi, kebijakan-kebijakan hukum dalam bidang investasi kurang dikembangkan bahkan terkesan tambal sulam dan parsial.

Pada tahun 1986 sampai dengan 1990an mulai ada perubahan orientasi dalam kebijakan investasi yang lebih terbuka dan mulai dilakukan upaya deregulasi dalam berbagai struktur kebijakan ekonomi termasuk dalam bidang investasi, pada masa ini upaya-upaya yang mengarah ke liberalisasi ekonomi perdagangan dan investasi semakin mengedepan dan sikap pemerintah terhadap investasi asing semakin terbuka, pada masa ini dapat dikatakan sebagai masa awal berkembangnya ”paradigma liberal” yang mendorong perkembangan perekonomian Indonesai terintegrasi dengan perekonomian internasional. Hal ini kemudian mendorong Indonesia untuk segera meratifikasi ketentuan-ketentuan dalam World Trade Organization (WTO), khususnya tentang Trade Related Investment Measures (TRIMs)[2] yang mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi. Pada masa ini ekonomi Indonesia ada yang menyebut telah mengembangkan ”sistem ekonomi pasar terkendali” sebagaimana yang pernah direkomendasikan oleh ISEI.[3] Kondisi ini tidak berlangsung lama, menjelang kejatuhan rejim Soeharto tahun 1997 bersamaan dengan adanya tuntutan reformasi suara-suara untuk mengubah orientasi ekonomi yang cenderung mengarah ke liberalistik dituntut kembali untuk berorientasi ”kerakyatan” yaitu selaras dengan tuntutan masyarakat agar pemerintah mengembangkan kebijakan ekonomi yang disebut dengan ”demokrasi ekonomi kerakyatan”.

Tuntutan masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945 telah dilaksanakan, dan UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen. UUD 1945 kembali menjadi acuan landasan utama kebijakan nasional dalam bidang ekonomi, termasuk kebijakan hukum investasi. Ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang telah mengalami penambahan, pada masa ini mulai ditafsirkan kembali, dengan penegasan bahwa demokrasi ekonomi dalam UUD 1945 adalah berbeda dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sistem etatisme. Sampai saat ini perbincangan tentang pemahaman / penafsiran atas Pasal 33 tersebut belum sepenuhnya tuntas. Konsekuensi adanya pemaknaan atau penafsiran yang belum sepenuhnya utuh tersebut, tidak jarang hal ini dijadikan dasar bagi beberapa kebijakan ekonomi dan investasi sesuai dengan pemaknaan / penafsiran pada masanya oleh rejim yang berkuasa.

Menyadari betapa mudahnya perubahan sikap Indonesia dalam mengembangkan kebijakan hukum investasi, maka sudah sepatutnya dimulai suatu langkah yang sungguh-sungguh dalam melakukan pengkajian kebijakan hukum investasi di Indonesia. Untuk menyiapkan hal tersebut perlu suatu riset dan kajian untuk pengembangan ilmu hukum investasi.

Dalam perumusan suatu kebijakan hukum investasi beberapa aspek dasar yang harus dicermati adalah :
  1. sistem ekonomi yang dianut sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UUD atau konstitusi,
  2. prinsip atau asas, dan hukum internasional yang berkaitan dengan investasi yang disepakati dalam berbagai konvensi serta perjanjian internasional,
  3. dasar teori yang dipilih sebagai landasan konsep kebijakan yang bersumber pada teori-teori hukum investasi yaitu teori-teori ekonomi pembangunan dan teori-teori hukum investasi tentang perusahaan transnasional yang berkaitan dengan investasi.
Ketiga aspek dasar yang menjadi landasan pijakan untuk menentukan model kebijakan yang akan ditetapkan, merupakan suatu yang niscaya harus dilakukan agar kebijakan hukum investasi yang akan ditetapkan benar-benar memiliki dasar argumentasi teoritik dan hukum yang kokoh dan tidak menyimpang dari semangat konstitusi.

Kesadaran tentang pentingnya pengkajian terhadap kebijakan hukum investasi yang harus melibatkan berbagai aspek disiplin ilmu non hukum, maka sudah sepatutnya dalam merancang kebijakan hukum investasi melibatkan para pakar dari disiplin ilmu ekonomi dan politik. Pengembangan ilmu hukum investasi memerlukan dukungan para ahli non hukum khususnya ahli ekonomi dan politik. Pembelajaran hukum investasi pada mahasiswa harus mengenalkan arti pentingnya pemahaman terhadap sistem dan konsep-konsep ekonomi dan politik bagi pemahaman suatu kebijakan hukum investasi yang komprehensif. Dalam rangka kerjasama yang lebih intens antara para ahli hukum dan para ahli ekonomi dan politik dalam menganalis kebijakan hukum investasi perlu ada penelitian dan pengkajian bersama.

Mengintegrasikan teori hukum dengan teori ekonomi dan politik sebagai dasar pijakan pengembangan teori hukum tentang kebijakan hukum investasi memerlukan penelitian dan pengkajian yang mendalam, prinsip-prinsip ekonomi yang berkaitan dengan masalah rasionalitas dan efisiensi perlu menjadi acuan. Pendekatan dari aspek ekonomi terhadap hukum sebagaimana yang dirintis oleh  Posner[4] masih cukup relevan untuk dikembangkan lagi agar produk-produk hukum yang ditetapkan oleh negara mempertimbangkan dimensi ekonomi secara mendalam. Penggunaan pendekatan tersebut akan dapat mencegah tumbuhnya efek atau akibat dari suatu produk hukum yang dapat menimbulkan irrationalitas, inefisiensi dan birokratis yang dapat menimbulkan ekonomi berbiaya tinggi.

Dalam era kompetisi yang terbuka, pertimbangan memilih negara tujuan investasi bukan lagi hanya didasarkan pada aspek comparative advantage tetapi pada aspek competitive  advantage. Implementasi kebijakan hukum investasi nasional saat ini masih terkendala oleh perilaku layanan publik (public services) yang belum mampu mewujudkan good governance. Implementasi kebijakan hukum investasi masih dihadapkan pada hambatan aturan-aturan lokal (berbagai Peraturan Daerah) yang belum sepenuhnya selaras dengan kebijakan hukum investasi nasional. Selain itu masih adanya korupsi yang hampir menyeluruh di seluruh wilayah Indonesia dan institusi negara, menyebabkan para calon investor kurang tertarik berinvestasi ke Indonesia.

Sementara negara-negara berkembang yang menjadi kompetitor Indonesia dalam menarik modal asing telah mampu berbenah baik dalam aspek hukum, birokrasi dan kecepatan layanan perijinan serta insentif yang cukup atraktif. Kemajuan yang diraih oleh negara-negara kompetitor dengan berusaha mengembangkan paradigma pengaturan hukum investasi yang liberal semakin pesat perkembangannya. Karena itu tantangan  yang dihadapi oleh Indonesia masih cukup berat.

Tantangan atas perkembangan kebijakan hukum investasi secara universal adalah kebijakan hukum investasi nasional harus mampu menjaga dan melindungi kepentingan nasional (domestik) dalam era kompetitif yang terbuka antar negara berkembang dalam perebutan investasi asing. Dalam era kompetisi yang terbuka, suatu pengecualian atas berbagai prinsip dan hukum internasional dimungkinkan kalau suatu host country mampu memberikan argumentasi yang rasional dan kuat mengapa suatu negara diberikan perkecualian terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku secara universal.

Harapan ke depan yang masih dapat dilakukan adalah :
1.       upaya yang sungguh-sungguh untuk menyempurnakan hukum investasi dengan menyempurnakan berbagai aturan yang terkait dan aturan-aturan pelaksananya, khususnya dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang telah berupaya mengadopsi berbagai prinsip internasional dalam bidang hukum investasi,
2.       beberapa perkecualian penerapan atas prinsip World Trade Organization (WTO)  dalam bidang investasi dimungkinkan bagi Indonesia asalkan Indonesia sungguh-sungguh berusaha memberikan argumentasi yang rasional dan kuat sesuai dengan kepentingan nasional,
3.       Indonesia masih mempunyai peluang cukup menjadi pertimbangan sebagai negara tujuan investasi dari segi pertimbangan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta letak strategis wilayah Indonesia sebagai lokasi investasi dan luasnya pasar produk.

Paradigma baru kebijakan hukum investasi secara internasional adalah bersifat liberal terbuka dan adil. Keterbukaan ini didasarkan pada prinsip yang disepakati dalam World Trade Organization (WTO)  yang menetapkan adanya keleluasaan/kebebasan yang dinamis antar negara untuk melakukan investasi. Masing-masing negara saling menghormati kedaulatan negara masing-masing untuk menetapkan kebijakan hukum investasinya, namun masing-masing negara harus saling melindungi dan memperlakukan kegiatan investasi di negaranya tanpa ada diskriminasi antara investor asing dengan investor domestik, demikian juga antar sesama investor asing. Prinsip ini menekankan pada dasar pikiran prinsip perlindungan keseimbangan kepentingan antar masing-masing pihak dengan saling menghormati dan memberikan perlakuan tanpa diskriminasi.[5]

Apabila dilihat dari paradigma baru yang liberal dan terbuka, kebijakan hukum investasi di Indonesia saat ini berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal secara substansial telah memenuhi, karena beberapa prinsip hukum internasional telah diakomodasi dan prinsip perlindungan kepentingan internasional juga telah terakomodasi. Namun yang perlu dijaga adalah konsistensi daripada aturan pelaksanaan undang-undang tersebut yang dalam sejarah pengaturan investasi di Indonesia seringkali menyimpang. Selain itu, undang-undang penanaman modal tersebut sejak awal pembahasan sampai ditetapkan sebagai undang-undang masih memperoleh respon yang negatif, karena dianggap terlalu pro pasar dan pro investor (asing).

Akar perdebatannya justru berawal pada masalah yang substansial yaitu ketentuan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. Bagi yang keberatan atas arah kebijakan investasi  dalam undang-undang ini menganggap undang-undang ini berideologi ”liberal” atau ”neo liberal”. Walaupun perdebatan saat ini tidak terlalu sengit, namun dapat dikategorikan ada dua pandangan yang secara relatif mewakili pandangan moderat atas dua pandangan yang berbeda tersebut.

Satu sisi misalnya pandangan yang dikemukakan oleh para ekonom dari ISEI yang menyebutkan bahwa Indonesia menganut ”sistem ekonomi pasar yang terkendali”, yang berarti masih dalam ”faham liberalistik yang moderat”, pada sisi lain diwakili oleh sebagian para ahli yang menyebutkan bahwa sistem ekonomi yang dianut oleh konstitusi Indonesia adalah bersumber pada ”faham kenegaraan welfare state” (negara kesejahteraan) yang dalam sejarahnya merupakan reaksi untuk penyempurnaan faham liberalistik yang kolot. Sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa :
”Undang-undang Dasar 1945 menganut paham kedaulatan rakyat Indonesia yang mencakup baik aspek demokrasi politik maupun aspek demokrasi ekonomi. Berdasarkan kedua doktrin demokrasi tersebut sistem sosial di Indonesia dapat dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi yang seimbang, sehingga menumbuhkan kultur demokrasi sosial yang kokoh. Dalam paham demokrasi sosial (social democracy) negara berfungsi sebagai alat kesejahteraan (welfare state). Meskipun gelombang liberalisme dam kapitalisme terus berkembang dan mempengaruhi seluruh kehidupan manusia, namun juga terjadi penyesuaian dengan elemen-elemen konstruktif dari sosialisme dalam bentuk paham ”market socialism”. Dianutnya prinsip demokrasi ekonomi dan paham ekonomi pasar sosial dapat kita lihat pada ketentua Bab XIV UUD 1945. Ketentuan konstitusi tersebut harus mendasari perumusan berbagai ketentuan mengenai perekonomian dan kesejahteraan sosial di Indonesia. Pelaksanaan ketentuan konstitusi di bidang ekonomi tentu akan selalu bersentuhan dengan kecenderungan perkembangan masyarakat. Saat ini, pelaksanaan welfare state yang memberikan pembenaran konseptual terhadap kecenderungan intervensi pasar negara hendaknya dibatasi demi perkembangan dunia usaha yang sehat.”[6]

Sebenarnya secara substansial menurut hemat saya perbedaan pandangan tersebut tidaklah terlalu diametral, kedua-duanya sebenarnya memahami bahwa dalam konteks internasional liberalisasi telah berjalan jauh dan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan, namun keduanya merasa perlu untuk menegaskan pemberian perlindungan bagi kepentingan nasional. Dalam upaya pentingnya perlindungan kepentingan nasional, kedua pandangan tersebut menghendaki peran pemerintah untuk menjadi pengatur dan pengendali. Walaupun peran pemerintah dalam sektor ekonomi masih dikehendaki namun tetap diingatkan bahwa pemerintah jangan sampai terlalu over regulated  sebagaimana pernah dialami oleh negara-negara yang menganut faham welfare state yang berlebihan di masa lalu. Karena itu langkah-langkah kebijakan hukum investasi perlu penyesuaian-penyesuaian dengan kepentingan ekonomi baik nasional ataupun internasional.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, perubahan paradigma kebijakan hukum investasi telah berlangsung di Indonesia. Paradigma liberal yang telah berpengaruh pada negara berkembang juga telah mempengaruhi Indonesia. Namun demikian faham ini telah diadaptasi dan ditapis (screening) sesuai dengan semangat yang dianut oleh sistem ekonomi Indonesia berdasarkan ketentuan konstitusi yaitu Pasal 33 UUD 1945. Walaupun demikian secara teoritik masih terus berlangsung diskursus-diskursus yang dinamis terhadap pemahaman / pemaknaan atas ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tersebut. Salah satu kata kunci yang membatasi dan cenderung menjadi acuan adalah walaupun kebijakan hukum investasi tersebut telah mengarah ke paradigma liberal, namun peran negara diharapkan masih dalam posisi yang strategis untuk mengatasi ekses-ekses negatif yang timbul dari prinsip pasar bebas tersebut. Selain itu juga diingatkan bahwa peran negara yang merefleksikan tanggung jawabnya terhadap kesejahteraan rakyat tidak dijadikan dasar dan alasan untuk memperkuat posisi negara dalam pengaturan ekonomi dan investasi sehingga cenderung melakukan langkah-langkah regulasi yang berlebihan atau over regulated. Untuk itu pada saat ini diperlukan adanya penelitian dan kajian yang lebih komprehensif tentang pemahaman Pasal 33 UUD 1945 dan pendalaman tentang teori, asas, atau prinsip hukum dan hukum yang menjadi dasar rujukan pengaturan investasi, terutama melalui penelitian dan kajian yang bersifat interdisipliner.

Hal ini diharapkan agar dalam perumusan berbagai kebijakan hukum investasi telah benar-benar memperoleh dasar pemikiran teoritik dan landasan hukum yang kuat baik dalam konteks nasional ataupun internasional sehingga paradigma kebijakan hukum yang dikembangkan betul-betul telah memperoleh pertimbangan dari berbagai segi sehingga tidak hanya merupakan suatu reaksi temporal yang kurang bersifat strategis.

Untuk itu para ahli hukum, ekonomi dan politik di lingkungan Universitas Airlangga sudah sepatutnya bersungguh-sungguh untuk bersinergi  menjalin kerjasama dalam upaya pengembangan kebijakan investasi yang bermanfaat pula bagi pengembangan ilmu hukum, ekonomi dan politik yang dinamis, seiring dengan perkembangan ilmu dan perkembangan internasional dalam bidang hukum, ekonomi dan politik.

JURNAL ASPEK & HUKUM DALAM EKONOMI
KEPASTIAN HUKUM DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEGIATAN INVESTASI DI INDONESIA

Abstract
Melalui UU No. 25 Tahun 2007 Indonesia telah menyatakan tekadnya untuk mewujudkan sebuah sistem hukum investasi yang berkepastian hukum. UU ini menempatkan asas kepastian hukum sebagai asas utama penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia. Dengan keluarnya UU ini, tidak dengan sendirinya seluruh problema investasi di Indonesia menjadi terselesaikan. UU ini hanya sebuah sub-sistem dari kompleksnya pengaturan investasi di Indonesia. Oleh karena itu UU ini harus didukung oleh kepastian dalam peraturan perundang-undangan lain yang terkait langsung dengan aktifitas investasi, termasuk berbagai peraturan tentang transaksi bisnis internasional. Berbagai perkara mengenai transaksi bisnis internasional yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa lemahnya substansi hukum dan penerapan hukum terkait transaksi bisnis internasional masih menjadi kendala bagi perbaikan iklim investasi di Indonesia. Oleh karena itu, selain pembangunan hukum dalam pengertian substansi hukum terkait investasi, harmonisasi hukum, juga diperlukan penguatan kapasitas pemahaman aparat penegak hukum, para lawyer dan para pelaku usaha tentang aspek hukum transaksi bisnis terutama yang berdimensi internasional.



Kesimpulan
Kepastian hukum dalam transaksi bisnis internasional sangat mempengaruhi iklim investasi di suatu negara, baik investasi langsung maupun portofolio, baik yang dilakukan dengan modal asing maupun modal dalam negeri. Ketidakpastian dalam pengaturan dan penegakan hukum dalam transaksi bisnis internasional memicu ketidaknyamanan berinvestasi dan ketidakpercayaan terhadap iklim investasi di negara tersebut. Dalam konteks Indonesia, ketidakpastian transaksi bisnis internasional ini masih menjadi bagian dari kendala
investasi. Ketidakpastian ini tidak saja karena ketidakpastian substansi hukum (peraturan perundang-undangan), terutama karena adanya unclearity of status and definition dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena ketidakpastian penerapan peraturan dalam putusan-putusan pengadilan.
Citra hukum yang tidak pasti tidak saja disebabkan oleh kelemahan substansi hukum, tetapi juga karena kelemahan sumber daya manusia dari penegak hukum dan kultur pelaku transaksi yang lebih mengutamakan pertimbangan kepentingan daripada itikad baik dalam melaksanakan kesepakatan transaksi.
UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah langkah awal dalam pembaharuan hukum investasi (langsung) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan aktifitas transaksi. UU ini dengan tegas mencantumkan asas kepastian hukum sebagai fundamental yang utama penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia. UU bukanlah jawaban akhir dari seluruh problematika investasi di Indonesia tetapi merupakan instrument hukum yang berupaya memberikan bentuk dan arah pembangunan hukum investasi di Indonesia. Oleh karena itu UU ini harus didukung oleh pembaharuan dan pembangunan hukum investasi secara menyeluruh, sistematik dan terintegral. Banyak pekerjaan yang harus segera dilakukan pasca keluarnya UU ini. Dengan demikian, sangat diharapkan Indonesia menjadi tempat yang kondusif bagi investasi, sehingga optimalisasi peran investasi dapat dimanfaatkan dalam pembangunan ekonomi nasional dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional Indonesia sebagai negara berdaulat.

sumber : Adolf, Huala, “Penyelesaian Sengketa di Bidang Ekonomi dan Keuangan” dalam http://www.lfip.org/English.pdf.
Atiyah, P.S, 1981, An Introduction to the Law of Contract, Clarendon Press, Oxford.
Cawley, Mc. 1981, The Growth of the Industrial Sector dalam A. Booth dan P. Mc. Cawley (ed.), The Indonesian Economy During the Suharto Era, University Press, Oxford.
http://www.hukumonline.com, “10 Perkara Litigasi Komersial Paling Menghebohkan 2004”.
http://renytriutami.blogspot.com/2011/05/jurnal-aspek-hukum-dalam-ekonomi.html

Hukum Perdagangan


Peranan Hukum Dagang pada dewasa ini semakin menjadi penting oleh karena adanya perkembangan yang begitu cepat di Negara kita sebagai akibat adanya program pembangunan.
Di dunia internasional pun hukum dagang juga menjadi sangat penting apalagi pada periode dimana pada era globalisasi sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Perkembangan Hukum Dagang di Dunia

Perkembangan hukum dagang sebenarnya telah di mulai sejak abad pertengahan eropa (1000/ 1500) yang terjadi di Negara dan kota-kota di Eropa dan pada zaman itu di Italia dan perancis selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan (Genoa, Florence, vennetia, Marseille, Barcelona dan Negara-negara lainnya ) .

Tetapi pada saat itu hukum Romawi (corpus lurus civilis ) tidak dapat menyelsaikan perkara-perkara dalam perdagangan , maka dibuatlah hokum baru di samping hukum Romawi yang berdiri sendiri pada abad ke-16 & ke- 17 yang berlaku bagi golongan yang disebut hokum pedagang (koopmansrecht) khususnya mengatur perkara di bidang perdagangan (peradilan perdagangan ) dan hukum pedagang ini bersifat unifikasi
Karena bertambah pesatnya hubungan dagang maka pada abad ke-17 diadakan kodifikasi dalam hokum dagang oleh mentri keuangan dari raja Louis XIV (1613-1715) yaitu Corbert dengan peraturan (ORDONNANCE DU COMMERCE) 1673. Dan pada tahun 1681 disusun ORDONNANCE DE LA MARINE yang mengatur tenteng kedaulatan

Dan pada tahun 1807 di Perancis di buat hukum dagang tersendiri dari hukum sipil yang ada yaitu (CODE DE COMMERCE ) yang tersusun dari ordonnance du commerce (1673) dan ordonnance du la marine(1838) . Pada saat itu Nederlands menginginkan adanya hukum dagang tersendiri yaitu KUHD belanda , dan pada tahun 1819 drencanakan dalam KUHD ini ada 3 kitab dan tidak mengenal peradilan khusus . lalu pada tahun 1838 akhirnya di sahkan .

KUHD Belanda berdasarkan azas konkordansi KUHD belanda 1838 menjadi contoh bagi pembuatan KUHD di Indonesia pada tahun 1848 . dan pada akhir abad ke-19 Prof. molengraaff merancang UU kepailitan sebagai buku III di KUHD Nederlands menjadi UU yang berdiri sendiri (1893 berlaku 1896).Dan sampai sekarang KUHD Indonesia memiliki 2 kitab yaitu , tentang dagang umumnya dan tentang hak-hak dan kewajiban yang tertib dari pelayaran



Pengertian Hukum perdagangan

Hukum Dagang adalah merupakan bagian kecil dari seluruh Ilmu Hukum yang ada dan Hukum Dagang sebenarnya juga merupakan bagian dari Hukum Perdata, maka sebelum mempelajari Hukum Dagang sebaiknyalah diketahui lebih dahulu apa itu yang dimaksud dengan Hukum, dan pengertian-pengertian mengenai hukum dipelajari di dalam Ilmu Hukum, misalnya di dalam Pengantar Ilmu Hukum.

Oleh karena Hukum Dagang juga sebagai bagian dari Hukum Perdata maka sebaiknyalah sebelum mempelajari Hukum Dagang juga dipelajari lebih dahulu apa itu Hukum Perdata.

Memang menurut sistematik yang ada pada Hukum Perdata maka Hukum Dagang adalah merupakan bagian dari Hukum Perdata yakni Hukum Dagang terletak di dalam Hukum Perikatan. Oleh karena itu pengertian Hukum Dagang adalah Hukum Perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan.

Jadi bisa kita ambil kesimpulan bahwa Hukum dagang adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan . atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan . Sistem hukum dagang menurut arti luas dibagi 2 : tertulis dan tidak tertulis tentang aturan perdagangan.

Karena Hukum Dagang merupakan juga Hukum Perikatan, maka untuk mempelajari Hukum Dagang diperlukan juga pengetahuan mengenai Hukum Perikatan, Secara tradisional maka di dalam Hukum Dagang juga terdapat beberapa cabang hukum, misalnya hukum perusahaan, hukum angkutan, hukum jual beli perusahaan, hak milik intelektual, hukum asuransi. Dan masing-masing cabang hukum tersebut juga masih dapat dibedakan lagi. Pada dewasa ini ruang lingkup Hukum Dagang itu sendiri menjadi lebih luas lagi, misalnya dengan adanya PMA dan PMDN, Leasing, Kadin, Perbankan. Pasar Modal dan sebagainya.

Tidak hanya itu pada masa sekarang ini salah satu cabang dari Hukum Dagang, misalnya Hukum Asuransi juga semakin berkembang jenis dan ruang lingkupnya, misalnya adanya Jamsostek. demikian juga di dalam Hukum Surat Berharga sekarang jenis dan ruang lingkupnya menjadi semakin bertambah atau semakin luas, misalnya dengan adanya ATM (kartu plastik) dan sebagainya.

Di lain pihak Hukum Dagang yang ada di Indonesia yang nota bene merupakan warisan kolonial yang tentu saja sudah sangat ketinggalan jaman dengan ada era perdagangan bebas nanti apabila kita tidak seqara melakukan pembenahan-pembenahan tentu saja akan menjadi amat sangat ketinggalan jaman.

Tantangan yang dihadapi sekarang adalah bagaimana agar supaya Hukum Dagang yang sekarang ada ini dapat dipakai sebagai sarana atau rambu-rambu hukum di bidang perdagangan era abad 21.

Dan tidak hanya itu Hukum Dagang yang digunakan di Indonesia juga merupakan hukum yang berkiblat ke hukum Belanda. Sedangkan pada era globalisasi nanti Hukum Dagang kita akan semakin tinggi frekuensinya untuk bersinggungan dengan hukum lain misalnya hukum negara tetangga dan bahkan juga hukum yang berkiblat kepada hukum Inggris.
Oleh karena itu dalam hal ini kita juga perlu memikirkan bagaimana supaya hukum kita tetap bisa eksis dan wibawa hukum kita tetap dapat dijaga pada masa yang akan datang.

Sebagai contoh misalnya dalam hal sistim pengangkutan kini dikenal sistim pengangkutan Multimoda dan di dalam hal Surat Berharga kini dikenal juga adanya bermacam-macam produk dari dunia perbankan misalnya kartu plastik dan sejenisnya yang kesemuanya tersebut di atas nampaknya pengaturannya belumlah mantap atau barangkali belum ada sama sekali. Apabila kita tidak segera melakukan pengaturan, terhadap hal-hal baru tersebut maka tentu saja pada gilirannya masyarakat yang menjadi korbannya apalagi mengingat bahwa hal-hal tersebut di atas konon berasal dari neqara yang berkiblat hukum kepada hukum Inggris, hal tentu saja akan semakin meruwetkan masalah. Oleh karena itu pembaharuan Hukum Nasional secara total dan dalam tempo yang secepat mungkin harus dilakukan menjadi sangat mutlak, mengingat abad 21 sudah

Perdagangan atau perniagaan pada umumnya adalah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat dan suatu waktu dan menjual barang tersebut di tempat dan waktu lainnnya untuk memperoleh keuntungan. Pemberian perantaraan kepada produsen dan konsumen itu meliputi aneka macam pekerjaan, misalnya :
a. Pekerjaan orang-perantara sebagai makelar, komisioner, pedagang keliling dan sebagainya.
b. Pembentukan badan-badan usaha (asosiasi), misalnya Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Firma (Fa, Perseroan Komanditer dan sebagainya guna memajukan perdagangan.
c. Pengangkutan untuk kepentingan lalu-lintas niaga baik di darat, di laut maupun di udara.
d. Pertanggungan (asuransi) yang berhubungan dengan pengangkutan, supaya si pedagang dapat menutup resiko pengangkutan dengan asuransi.
e. Perantaraan bankir untuk membelanjai perdagangan.
f. Mempergunakan surat perniagaan (wesel, cek, aksep) untuk melakukan pembayaran dengan cara yang mudah dan untuk memperoleh kredit.

Perdagangan mempunyai tugas untuk :
a. Membawa / memindahkan barang-barang dari tempat-tempat yang berkelebihan (surplus) ke tempat-tempat yang kekurangan (minus).
b. Memindahkan barang-barang dari produsen ke konsumen.
c. Menimbun dan menyimpan barang-barang itu dalam masa yang berkelebihan sampai mengancam bahaya kekurangan.

Orang membagi jenis perdagangan itu :
1) Menurut pekerjaan yang dilakukan pedagang :
a. Perdagangan mengumpulkan (produsen-tengkulak-pedagang besar-eksportir).
b. Perdagangan menyebarkan (importir-pedagang besar-pedagang menengah-konsumen).
2) Menurut jenis barang yang diperdagangkan :
Perdagangan barang (yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan jasmani manusia, misal hasil pertanian, pertambangan, pabrik).
Perdagangan buku, musik, kesenian.
Perdagangan uang dan kertas-kertas berharga (bursa efek).
3) Menurut daerah, tempat perdagangan dijalankan :
a. Perdagangan dalam negeri.
b. Perdagangan luar negeri (perdagangan internasional), yang meliputi perdagangan ekspor dan perdagangan impor.
c. Perdagangan meneruskan (perdagangan transito).
Selain perdagangan, terdapat pula perniagaan (handelszaak). Usaha perniagaan adalah segala usaha kegiatan baik aktif maupun pasif, termasuk juga segala sesuatu yang menjadi perlengkapan perusahaan tertentu, yang kesemuanya itu dimaksud untuk memperoleh keuntungan.
Adapun usaha-usaha perniagaan itu meliputi :
1) Benda-benda yang dapat diraba, dilihat serta hak-hak seperti :
a. Gedung / kantor perusahaan.
b. Perlengkapan kantor, misal mesin hitung / tulis dan alat-alat lainnya.
c. Gudang beserta barang-barang yang disimpan di dalamnya.
d. Penagihan-penagihan.
e. Utang-utang.
2) Para langganan.
3) Rahasia-rahasia perusahaan.

SUMBER-SUMBER HUKUM DAGANG DAN SISTEMATIKA HUKUM DAGANG

Hukum Dagang Indonesia terutama bersumber pada :
1) Hukum tertulis yang dikofifikasikan :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
b. Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)
2) Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7).
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.

http://uthieprawita.blogspot.com/2011/03/hukum-perdagangan.html

Hukum Perikatan


Definisi hukum perikatan

Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu  terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian

Dasar Hukum Perikatan

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
.Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
Azas-azas dalam hukum perikatan

Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
· Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
· Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum

Wanprestasi dan akibat-akibatnya


Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni

1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.

2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.

3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.

Hapusnya Perikatan

Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :

Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada tiga macam novasi yaitu :
1) Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2) Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.

Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
- Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
- Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
- Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
 
Pembebasan utang
Undang-undang tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.

Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.

Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan, maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.
Syarat yang membatalkan
Yang dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada sejak dipenuhinya syarat itu.

Kedaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam
lampau waktu, yaitu :
(1). Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut
”acquisitive prescription”;
(2). Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan
dari
tuntutan, disebut ”extinctive prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat dan praktis.

Sumber :
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/wanprestasi-dan-akibat-akibatnya/